Rabu, 18 Agustus 2010

Crop Circle Dalam Iptek

Untuk artikel kita kali ini kita akan membahas salah satu fenomena alam yang sampai sekarang masih menjadi misteri dikalangan para ilmuan. Fenomena alam tersebut adalah CROP CIRCLE.

Crop Cricle merupakan salah satu fenomena yang paling menarik di zaman modern ini. mungkin ini adalah satu-satunya fenomena yang sejalan dengan seni yang indah sebagai wujud dari salah satu penciptaan Alloh SWT.



Crop circle atau yang lebih dikenal dengan sebutan lingkaran ladang gandum adalah sebuah pola yang memberikan nilai seni tinggi yang muncul dalam waktu semalam di tengah-tengah ladang gandum. Pada awalnya, crop circle hanya berbentuk lingkaran-lingkaran sederhana, namun memasuki tahun 1980an, crop circle berkembang hingga memiliki pola yang rumit dan tidak hanya berbentuk lingkaran.

Istilah Crop circle pertamakali diperkenalkan oleh Colin Andrew, salah satu peneliti crop circle ternama di dunia. Mungkin banyak dari kita yang belum mengetahui, namun crop circle ternyata tidak hanya muncul di ladang gandum, melainkan juga di ladang jagung, kedelai, sawah dan kebun bunga.

Sejarah Crop Circle

Crop circle sebenarnya sudah ditemukan pada tahun 1678. Pada abad tersebut, ada sebuah ukiran kayu yang disebut "Mowing Devil" yang menggambarkan iblis sedang menggambar desain oval di sebuah ladang gandum.

Kisahnya mungkin sedikit mistik. Sang petani yang menolak tuntutan pekerjaan sang majikan, mengatakan bahwa lebih baik iblis yang mengerjakan tugasnya. Pada malam itu juga, Ladang gandum tersebut terlihat terbakar oleh api. Paginya lingkaran misterius berbentuk oval muncul di ladang tersebut.

Entah ini kisah nyata atau tidak, tidak ada yang bisa mengkonfirmasinya.



Laporan crop circle yang lebih modern dipublikasikan di majalah Nature edisi 29 Juli 1880. Pada tahun itu, seorang peneliti bernama John Rand Capron melaporkan adanya tanaman-tanaman gandum yang merunduk dan membentuk lingkaran sirkular.

Crop Circle – Mendunia

Crop circle mulai mendunia pada tahun 1980-an ketika media melaporkan banyak crop circle muncul di wilayah pedesaan Inggris, terutama di Wiltshire dan Hampshire. Bersamaan dengan kemunculan di Inggris, fenomena yang sama dilaporkan muncul di Australia dan Amerika Serikat.

Hingga saat ini paling tidak ada 12.000 Crop circle yang telah ditemukan di seluruh dunia, seperti Inggris, Rusia, Amerika Serikat, Kanada dan bahkan Jepang.

Crop Circle - tanda kemunculan


Menurut para saksi mata, Sebelum Crop circle muncul, selalu ada tanda-tanda aneh yang mendahului :

1. Munculnya lingkaran-lingkaran cahaya aneh yang berputar-putar di atas perkebunan tertentu.
2. Terjadinya badai petir hebat.
3. Benda-benda elektrik tiba-tiba mati dengan sendirinya termasuk mesin mobil.

Karena itu hingga saat ini, teori sains yang paling populer mengenai dugaan penyebab kemunculan crop circle adalah akibat medan elektromagnetik yang berasal dari petir. Namun para ilmuwan belum bisa memecahkan misteri mengapa petir dapat menciptakan pola-pola yang indah.

Crop circle – Antara Mitos dan Realitas.




Pada tahun 1991, dua pria dari Southampton, Inggris bernama Dave Chorley dan Doug Bower mengaku telah membuat Crop circle sejak tahun 1976. Mereka membuat crop circle tersebut hanya dengan menggunakan sebuah papan, patok dan tali. Menurut mereka, hanya dengan menggunakan alat sederhana itu, mereka dapat membuat sebuah lingkaran dengan diameter 12 meter hanya dalam tempo 15 menit.

Majalah Time edisi 23 September 1991 menyebut pengakuan Chorley dan Bower dengan kutipan seperti ini :

"Pengakuan ini mengakhiri sebuah misteri paling populer yang pernah disaksikan Inggris dan dunia"

Benarkah anggapan majalah Time ? Apakah misteri ini telah terpecahkan?

Memang, banyak dari crop circle adalah buatan manusia, namun para peneliti menemukan karakteristik-karakteristik yang kelihatannya mustahil dapat dibuat oleh manusia.

Crop Circle – Karakteristik


Karakteristik yang ditemukan pada crop circle yang asli adalah sebagai berikut :

Batang gandum tidak patah



Pada crop circle yang asli, tanaman gandum tidak patah. Ia hanya merunduk seperti sebuah sendok plastik yang dipanaskan. Menurut para peneliti, hal ini bisa diakibatkan oleh semburan elektromagnetik yang deras kearah tanaman gandum hingga menambah kelembaban batang gandum yang memungkinkannya untuk merunduk tanpa patah.

Lubang-lubang kecil pada batang gandum



Ciri lainnya adalah ditemukan lubang-lubang kecil di batang gandum. Para peneliti menduga bahwa lubang ini tercipta akibat adanya semburan gelombang mikro yang terus-menerus yang menyebabkan kelembaban batang gandum berubah menjadi uap panas yang kemudian mencari jalan keluar dari batang gandum.

Pola Rumit

Memang, manusia yang berusaha membuat crop circle mampu membuat pola yang rumit, namun tidak dalam semalam. Crop circle asli terkadang memiliki pola geometri yang asing bagi kebanyakan orang. Salah satunya adalah pola Phi yang hanya berhasil dipecahkan oleh seorang ahli astrofisika !

Partikel Besi Mikro bermagnet



Ciri lain yang hampir mustahil ditiru oleh manusia adalah adanya Partikel Besi bermagnet yang ditemukan pertama kali oleh para peneliti dari BLT Institute. Partikel besi bermagnet tersebut memiliki diameter 10-50 mikrometer dan terdistribusi secara merata dan linear di perimeter Crop Circle. Menurut para peneliti, partikel besi ini mungkin muncul karena terciptanya kolom udara yang terionisasi (Plasma Vortex).

Perubahan struktur Kristalin batang gandum


Ciri lainnya adalah adanya perubahan struktur Kristalin pada tanaman gandum. Karakter ini hampir dipastikan tidak dapat ditiru oleh orang lain.

Perubahan komposisi kimiawi tanah

Peneliti lainnya juga menemukan pada beberapa kasus terjadi perubahan komposisi kimiawi tanah tempat terciptanya Crop circle.

Timbulnya medan magnet misterius di lokasi

Pada crop circle yang asli, umumnya terdapat medan magnet yang sangat kuat di dalam lingkaran formasinya. Medan magnet ini dapat mematikan peralatan elektrik. Ciri ini tidak ditemukan pada crop circle buatan manusia.

Crop Circle - Tantangan Sains
Pada tahun 2002, Discovery Channel menugaskan 5 insinyur aeronautic dan austronautic dari MIT untuk membuat Crop Circle. Syaratnya mereka harus membuat Crop circle yang paling tidak memiliki 3 ciri, yaitu :
1. Batang gandum yang tidak patah
2. Ada lubang-lubang uap pada batang gandum
3. Adanya partikel besi berdiameter 10-50 mikrometer yang tersebar merata secara linear di formasi Crop circle.

Tim tersebut kemudian membuat sebuah crop circle, lalu berusaha memasukkan 3 karakter diatas. Mereka menggunakan microwave emitter untuk meningkatkan suhu batang gandum hingga berubah menjadi uap. Mereka lalu menggunakan flamethrower untuk menyemprot partikel besi. Namun ternyata peralatan tersebut memakan terlalu banyak waktu dan tidak efektif sehingga mereka terpaksa menggunakan pyrotechnic untuk menyebarkan partikel besi secara merata.

Dengan seluruh teknologi canggih yang digunakan, para insinyur MIT hanya dapat menghasilkan 2 ciri dengan sempurna. Ciri ketiga, yaitu partikel besi tersebar tidak dengan merata.

Lagipula menurut peneliti Crop circle, para tim tersebut menggunakan ilmu pengetahuan dan peralatan canggih yang jelas diluar jangkauan para Hoaxer lainnya.

Bukan hanya di Inggris, Percobaan mereproduksi Crop circle ternyata pernah dilakukan oleh seorang peneliti Jepang bernama Y. Ohtsuki (Crop circle pernah muncul di sawah padi di Jepang).

Ia memang berhasil menciptakan karakter asli crop circle yaitu dengan cara menjatuhkan bola api plasma ke sebuah piringan yang ditaburi debu alumunium. Ya, karakteristik yang sederhana-pun membutuhkan ilmu pengetahuan yang cukup rumit.

Pernah suatu hari, para peneliti yang berusaha menciptakan kembali Crop circle dengan segala karakteristiknya menggunakan derek seberat 40 ton hanya untuk memasang penerangan agar mereka dapat bekerja pada malam hari. Atraksi itu menarik banyak penonton yang ingin tahu.

Crop circle asli muncul tanpa adanya atraksi dan keramaian seperti itu. mereka hanya muncul dengan tiba-tiba. Jadi sains modern masih belum bisa menjelaskan dengan sempurna fenomena ini.

Adakah penjelasan lain yang ditawarkan ?

Crop Circle - Penjelasan Lainnya

Bagi yang lain, ketika sains gagal mengungkap rahasia crop circle, mereka sampai kepada penjelasan alternatif, Yaitu crop circle adalah buatan alien.

Pada tahun 1966 terjadi laporan yang luar biasa aneh. Di sebuah kota kecil di Tully, Queensland, Australia, seorang petani tebu melaporkan adanya sebuah UFO yang terbang dari alang-alang. Ketika ia menyelidiki lokasi terbangnya UFO tersebut, ia melihat alang-alang diatas air rawa ditempat itu merunduk dalam pola lingkaran searah jarum jam. Luar biasanya, jalinan yang tercipta dari alang-alang tersebut mampu menahan berat 10 pria dewasa.

Di Inggris, beberapa saksi mata pernah melihat objek terbang tak dikenal pada malam munculnya Crop circle.

Selain itu kesaksian seorang polisi yang melihat tiga pria tinggi sedang mengamati ladang gandum. Ketika petugas polisi menghampiri mereka, mereka lari dan menghilang. Dengan segera polisi tersebut mendengar suara berdengung statik yang aneh, dan ia menyaksikan batang-batang gandum mulai merunduk mengiringi suara dengungan itu. Malam itu juga disekitar situ seorang saksi berhasil memotret objek terbang tidak dikenal.

Apakah Crop circle adalah jejak UFO yang tertinggal ? Ataukah kode rahasia yang ingin disampaikan kepada umat manusia ? tentu saja tidak ada yang bisa memastikannya.

Namun dugaan ini dibuat semakin panas akibat adanya pengakuan seorang mantan sersan polisi di Inggris yang mengaku bahwa para petani di Inggris dibayar oleh pihak militer untuk segera membuldoser crop circle segera setelah mereka muncul.

Apakah militer Inggris mengetahui sesuatu yang tidak boleh diungkapkan ?

Saya rasa, bertentangan dengan anggapan majalah Time. Misteri ini akan tetap hidup di abad modern ini sampai kita benar-benar mendapatkan bukti sains yang solid dan masuk akal. Atau, apakah mowing devil benar? Mungkinkah crop circle memang dibuat oleh setan sendiri ?

Yang jelas fenomena kemunculan crop circle adalah bagian dari ke-Maha Kuasaan Alloh SWT.
Wallohu’alam bissowab..

(enigma, wikipedia)
Read more »

Senin, 31 Mei 2010

Analisa Mengenai Peningkatan Mutu Pendidikan

A. Humanisasi Pendidikan

Tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia menjadi individu-individu yang bermutu, berwawasan luas serta mampu berinterkasi dengan lingkungannya. Tujuan di atas akan dengan sendirinya tercapai ketika materi pendidikan mampu terimplementasikan ke dalam jiwa dan pikiran peserta didik. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, maka iklim pendidikan harus dirancang sedemikian rupa, sehingga bisa tercipta proses pendidikan yang humanis.

Humanisasi di sini menempatkan peserta didik pada derajatnya sebagai manusia seutuhnya. Peserta didik bukanlah obyek penjejalan ilmu pengetahuan, akan tetapi lebih diproporsikan pada eksistensinya sebagai subyek. Karena pada dasarnya humanisasi pendidikan adalah media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.

Sementara itu, mengenai kapitalisme pendidikan sendiri Ivan Illich, kritikus pendidikan yang banyak melakukan gugatan atas konsep sekolah dan kapitalisasi pendidikan, mengatakan bahwa kita harus mengenali keterasingan manusia dari belajarnya sendiri ketika pengetahuan menjadi produk sebuah profesi jasa (guru) dan murid menjadi konsumennya. Kapitalisme pengetahuan pada sejumlah besar konsumen pengetahuan, yakni orang-orang yang membeli banyak persediaan pengetahuan dari sekolah akan mampu menikmati keistimewaan hidup, punya penghasilan tinggi, dan punya akses ke alat-alat produksi yang hebat. Pendidikan kemudian dikomersialkan. Sehingga tidak ada kepedulian seluruh elemen pendidikan untuk lebih memperhatikan nasib pendidikan bagi kaum tertindas.

Dalam hal ini teori pendidikannya Paulo Freire mungkin bisa dijadikan rujukan. Freire yang terkenal teori pendidikan pembebasan lebih menojolkan pada pembelaan buat kaum marginal. Menurutnya, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo.

Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Untuk itu, dalam pandangan Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality". Dengan demikian, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.

B. Sistem Pendidikan Yang Merata

Pemerataan hendaknya tidak saja dalam ruang lingkup kesejahteraan masyarakat, namun dalam sistem pendidikan pun harus bisa terjangkau oleh semua masyarakat di berbagai daerah. Selain itu pendidikan juga harus bisa menjangkau semua lapisan msyarakat tanpa atribut batasan strata sosial ekonomi mereka. Di sini pendidikan tidak saja ditempatkan sebagai sebuah kawajiban, tetapi peranannya lebih dari pada itu, yakni sudah merupakan kebutuhan masyarakat maupun kebutuhan negara secara global.

Sentralisasi pendidikan yang selama ini hanya berpatokan pada doktrin aristokrat, sedemikian rupa harus dikembangkan fleksibilitasnya menjadi bagian dari ruang lingkup kegiatan masyarakat marginal. Di mana kompetensi pendidikan lebih didasarkan pada tingkat prestasi siswa, bukan pada standarisasi finansial. Artinya rakyat kecil juga berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu tinggi sesuai dengan prestasi mereka.

Sementara itu, guna memujudkan realitas pendidikan di atas, maka diharapkan lembaga pendidikan tidak sepenuhnya didominasi oleh pengusaha (Pendidikan Swasta). Kenyataan di masyarakat menunjukkan bahwa lembaga pendidikan tidak mengejar sisi kualitas peserta didik, tetapi lebih diarahkan pada pemenuhan sarana dan fasilitas pendidikan. Dan ironisnya pengadaan sarana dan fasilitas pendidikan yang mewah cenderung dikuasai oleh lembaga pendidikan swasta. Sehingga masyarakat elit – yang relative mempunyai gaya hidup tinggi – cenderung memilih pendidikan dengan gaya tersebut sebagai pilihannya, yang tentunya dengan biaya yang besar pula. Sedangkan masyarakat miskin lebih memlilih kepada lembaga pendidikan murah, dengan sarana pas-pasan, yang penting dapat ijazah.

B. Minimalisasi Biaya Pendidikan

Dalam upaya mewujudakan pendidikan biaya murah bahkan gratis sangat membutuhkan kajian yang secara diharapkan mampu menemukan solusi terbaik dalam upaya pemecahan masalah seputar pembiayaan pendidikan.

1. Solusi Sistemik

Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.

2. Solusi Teknis

Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.

Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Read more »

Hal-hal yang Mempengaruhi Rendahnya Tingkat Pendidikan

Permasalahan seputar dunia pendidikan adalah masalah yang seolah-olah tidak ada ujungnya. Hal ini lebih didasarkan pada sebab kompleksitas komponen pendidikan yang pada perkembangannya selalu dituntut untuk bisa memenuhi kebutuhan jaman. Sementara dikotomi seputar dunia pendidikan sendiri kurang begitu felksibel memenuhi kebutuhan masyarakat. Masih ada semacam pencampuradukan dalam lingkup strata sosial, strukturisasi birokrat, serta diferensiasi ekonomi yang lebih mendasar.

Di Indonesia fleksibilitas pendidikan masih kering dari tataran persuasivitas. Penanganan yang ideal dari pemerintah selaku pemegang utama kendali pendidikan dirasakan masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini tidak saja mencakup sisi futurisme pendidikan, tetapi dalam lingkup pengadaan media pendidikan pun masih sangat carut marut.

Kenyataan akan rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia juga dapat dilihat pada data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).

Keadaan yang sama juga bisa dilihat pada survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), di mana kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Ironisnya lagi Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.

Apa yang dirasakan oleh negara tentang adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal adalah memang benar. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, dalam tinjauan praksis seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.

1. Kurangnya Efektifitas Pendidikan Formal

Efektifitas pendidikan adalah dasar utama tercapainya tujuan pendidikan. Pendidikan dikatakan efektif ketika terciptanya sebuah iklim yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) serta peserta didik adalah subyek yang saling berinteraksi dalam proses pembentukan karakter yang membangun.

Tapi dalam kenyataannya, pendidikan relatif dilegitimasi sebagai alat peraih prestise dalam masyarakat. Pendidikan hanyalah bagian dari bentuk formalitas yang tanpa tujuan jelas. Dalam hal ini pendidikan bukan diciptakan atas dasar pembentukan sumber daya manusia yang kompeten, tetapi relatif diprioritaskan untuk pencapain gelar formal semata. Dan mereka tidak peduli dengan apakah bidang keilmuan yang diraihnya sesuai dengan potensi dasar mereka. Dari sini masih ada semacam pencampur-adukan prioritas pendidikan dengan konsep pendidikan hanya sebatas bagian dari gaya hidup. Maka tak jarang jika ketika dalam implementasinya ke bidang pekerjaan tertentu, masih banyak sekali di dapati penempatan individu yang tidak sesuai dengan bidang keilmuannya.

2. Standarisasi Pendidikan Formal

Carut marutnya sistem pendidikan di Indonesia telah memaksa pemerintah untuk membentuk badan standarisai pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar supaya sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia mempunyai patokan dasar yang jelas, demi terwujudnya tujuan pendidikan secara merata.

Namun kenyataan yang terjadi justru malah menenggelamkan persuasivitas pendidikan kearah terjerumusnya sistem. Badan standarisasi pendidikan tidak dijadikan sebagai acuan pembelajaran yang sesuai dengan cita-cita masyarakat bangsa. Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Di mana kualitas pendidikan diukur oleh standard dan kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Ironis memang, kecanduan akan bentuk formalitas masih mendominasi sebagian besar para pelaku sistem pendidikan di Indonesia. Begitu juga dengan badan standarisasi pendidikan nasional, di mana selama ini hanya sekedar dijadikan pijakan formal semata. Pemenuhan standarisasi pendidikan hanya berkutat seputar perencanaan kurikulum, sarana dan media pendidikan saja. Sedangkan sistem dan mekanisme pembelajaran yang akurat, fleksibel dan dinamis masih jauh dari harapan.

Jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus, maka akan terjadi kemungkinan adanya pendidikan yang terkekang oleh standar kompetensi saja. Dengan begitu peserta didik terkadang hanya memikirkan bagaimana agar mencapai standart pendidikan, dan bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi nilai di atas standar saja.

3. Terbatasnya Sarana Fisik Pendidikan

Keterbatasan sarana fisik sekolahan adalah problem klasik yang senantiasa merongrong sistem pendidikan di Indonesia. Mulai dari pengadaan meja belajar, alat-alat tulis hingga ke permasalahan gedung sekolah, sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah - khususnya Dinas Pendidikan - yang belum terselesaikan. Hal ini menjadi masalah serius ketika sampai pada saat ini ternyata pemerintah masih cenderung menomorduakan problematika pendidikan sebagai agenda wajib pembahasan masalah negara. Pemerintah terkesan lebih mementingkan kepentingan politik dari pada membahas masalah dunia pendidikan.

Dari sini nampak jelas sekali, pemenuhan komponen pendidikan hanya terbatas pada sisi formalitas saja. Problem belajar-mengajar akan bisa berjalan hanya dengan adanya guru, murid, buku, alat tulis serta lokasi, tanpa memperdulikan kelayakan dan tingkat optimalisasi peralatan tersebut. Pemerintah seakan tak peduli apakah sarana pendidikan tersebut memenuhi syarat atau tidak, bahkan sampai ruang belajar yang rusak serta gedung sekolahan yang mau roboh pun tidak pernah menjadi agenda dasar permasalahan negara.

Hal ini diperkuat lagi dengan adanya data Balitbang Depdiknas (2003) yang menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.

4. Rendahnya Kesejahteraan Guru

”Guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Kata-kata mutiara tersebut mungkin relevan dengan realitas guru di Indonesia. Sekilas mempunyai makna spiritualisasi yang sangat tinggi. Secara tekstual sama sekali tidak ada yang salah dengan kata-kata mutiara tersebut. Oleh karenanya kata-akata tadi selalu menjadi referensi bagi semua masyarakat untuk menunjukkan sisi sosialisasi dan normalisasi mereka, terutama dalam dunia pendidikan.

Tapi kalau kita cermati secara mendalam, kesalahan justru ada pada pemaknaan secara tekstualitas terhadap kata-kata tersebut dalam implementasinya terhadap praksisme pendidikan. Lepas dari tekstualitas kata-kata tadi, pemerintah seolah-olah lupa dan tidak mamandang bahwa secara kodrati guru adalah tetap sebagai person yang membutuhkan kesejahteraan dan tataran hidup yang mapan selayaknya provesi lain yang lebih menjanjikan. Apa yang selama didapat oleh guru sama sekali tidak sebanding dengan kontribusi jasa mereka. Guru hanya sebatas simbol profesi kemanusiaan di dalam bingkai pengabdian. Oleh karenanya wajar jika di berbagai daerah muncul beberapa aksi komunitas guru untuk menuntut hak dan privasi mereka yaitu kesejahteraan hidup.

Kalau hal tersebut dibiarkan tanpa ada tindakan preventif dari pemerintah, maka bukan tidak mungkin dampak yang muncul ke permukaan – sebagai sisi kausalitas dari fenomena di atas – adalah penyelewengan wewenang, pengendapan provesi serta pembelokan kaidah. Di antara akibat itu adalah:

  • Menurunnya kualitas guru yang pada kelanjutannya akan berdampak pula pada rendahnya kualitas pendidikan serta tereliminasinya potensi peserta didik. Mekanisme kerja guru akan menjadi asal-asalan dan tidak optimal.
  • Provesi guru akan beralih kepada hanya sebagai sambilan kerja. Karena sifatnya sambilan, maka segala kewajiban yang bersangkut paut dengan guru dengan sendirinya akan bersifat skunder. Guru bukan lagi diproporsikan sebagai profesi tetap dan optimalisasi kerja pun bukan disesuaikan dengan tuntutan tetapi lebih kepada pendapatan.
  • Semakin sedikit peminat profesi guru. Hal ini hampir bisa dipastikan, mengingat kesenjangan sosial dirasakan semakin meningkat. Dalam kurun waktu yang tidak begitu lama mungkin akan semakin sulit mencari calon-calon guru muda sebagai bagian dari regenerasi guru.


5. Mahalnya Biaya Pendidikan

Biaya pendidikan adalah faktor klasik yang masih menjadi akar dari semua permasalahan di dunia pendidikan. Kompleksitasnya telah dengan sukses melegitimasi ruang gerak eksistensi pendidikan. Di Indonesia faktor tersebut selama ini masih hanya terbatas pada wacana yang entah kapan dapat terealisasikan. Karena ia adalah akar permasalahan di masyarakat, maka tak heran jika biaya pendidikan banyak dijadikan propoganda dari setiap kampanye politik, guna mengukuhkan eksistensinya. Hampir di setiap struktur birokrasi selalu menyuarakan biaya pendidikan rendah bahkan gratis demi kelancaran sebuah karier politik, baik yang sifatnya pribadi maupun partai. Ironisnya, dari sekian banyak program yang dijanjikan, selama ini belum ada satupun program pun yang terealisasikan secara persuasif.

Kondisi ini diperparah lagi dengan rencana pemerintah lewat Depdiknas yang akan membagi jalur pendidikan menjadi dua kanal, yaitu: jalur pendidikan “formal mandiri” dan “formal standar”. Hal ini jelas mengandung asumsi di mana pendidikan bukan saja dinilai berdasarkan atas perbedaan kelas sosial dan ekonomi, namun juga atas dasar kemampuan akademik, dalam pengertian masyarakat bodoh dan miskin sama sekali tidak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan berkualitas.

Dengan demikian, pendidikan akan terkelola seperti halnya perusahaan, di mana kualitas pendidikan relative lebih didasarkan pada faktor financial, dan bukan atas dasar terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) gratis, bermutu, dan berkualitas bagi rakyat Indonesia. Dari sini pemerintah seolah-olah ingin membelokkan tujuan pendidikan kearah privatisasi pendidikan., di mana tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan relative terkurangi bahkan lepas sama sekali.

Secara empiris, kenyataan ini juga bisa dilihat pada anggaran pendidikan di Indonesia selama ini, di mana dari anggaran total pendidikan ‘hanya; dialokasikan di bawah 105 dari APBN, padahal dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. Rinciaan Alokasi dana pndidikan pada tahun 2005 hanya sebesar 8,1% dari APBN, sedangkan pada tahun 2006 sebesar 9,1%. Meskipun pemerintah dan DPR sudah memiliki kesepakatan untuk menaikkan anggaran secara bertahap 2,7%/tahun hingga 2009 dengan rincian kenaikan 6,6% (2004), 9,29% (2005), 12,02% (2006), 14,68% (2007), 17,40% (2008), dan 20,10% (2009), namun nota kesepatan tersebut sudah diingkari. Dapat kita bayangkan jika kenaikan bertahap 2,7%/tahun saja tidak terpenuhi, maka lompatan besar peningkatan anggaran dalam tahun 2008 tentu jauh dari harapan. Hal tersebut juga masih jauh dari target kesepakatan yang dihasilan dalam KTT menteri pendidikan se-Asia Tenggar tahun 1992, yaitu minimal 25% dari APBN.

Gambaran nuansa privatisasi pendidikan di atas, juga sudah terlihat dalam legalitas pendidikan nasional. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.

Padahal, masih dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".

Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya".

Dari kenyataan di atas, nampak ada semacam proses pembodohan masyarakat, di mana masyarakat sengaja dibiarkan pada posisinya yang bodoh, miskin dan terbelakang. Entah atas dasar pengukuhan otoriterisme atau atas dasar efektifitas anggaran Negara, namun yang jelas masyarakat dibiarkan dalam bingkai kebodohan, pengekangan kebebasan pendidikan serta isolasi eksternal dalam proses pengembangan wawasan.
Read more »