Senin, 31 Mei 2010

Masalah Seputar Pendidikan di Indonesia

Paradigma pendidikan Indonesia dalam proses perkembangannya selalu tidak bisa lepas dari education problematic. Mulai dari permasalahan seputar gaji guru, sistem pengelolaan infrastruktur sekolah yang carut marut hingga kepada masalah biaya sekolah yang relatif mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat kecil. Hal ini bukanlah masalah baru di dunia pendidikan kita. Ada semacam kesengajaan yang mengharuskan masyarakat untuk terus berkeluh kesah tentang bagaimana dan seperti apa rasanya mendapatkan pendidikan murah bahkan gratis. Benturan ideologi seputar susahnya mengenyam pendidikan atas, serta aspek revivalisasi pengembangan masa depan masyarakat yang cerah nampak masih terbatas pada tataran imaginatif. Pendidikan bukanlah sesuatu keharusan akan tetapi pendidikan adalah barang mewah yang harus dibayar dengan mahal.

Kondisi ini tanpa disengaja sangat mempengaruhi realitas masyarakat secara umum. Masyarakat akan menjadi tidak bisa memahami faktor empiris yang terjadi di sekitarnya. Bahkan dalam proses perkembangannya masyarakat akan menjadi tidak kreatif, chauvinis dan cenderung tertutup. Reaksi aktif terhadap rangsangan peradaban plural darasakan kurang begitu massif. Problematika ini semakin menggejala ketika pemerintah sama sekali tidak begitu serius dalam menangani masalah pembiayaan pendidikan nasional.

A. Dampak Rendahnya Tingkat Pendidikan Terhadap Masyarakat.

Pendidikan memegang peranan penting dalam proses pembentukan masyarakat madani. Tingkat pendidikan yang rendah akan memunculkan paradigma baru seputar kebobrokan nilai-nilai budi dan runtuhnya normalisasi masyarakat. Banyak hal yang akan terjadi sebagai bentuk akibat dari rendahnya pendidikan lokal. Di antaranya:

1.Melonjaknya Angka Pengangguran

Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin majemuk dalam segala sektor, maka apapun sesuatu yang menjadi hasil pemikiran manusia, baik dari hasil tehnologi, kultural, sampai kepada homogenitas sosial masyarakat akan sangat membutuhkan konsepsi-konsepsi teoritis dan praksis dalam mensikapi dampak multikultural, mobilisasi tehnologi, serta pluralisasi peradaban global. Produk-produk dunia modern tersebut bukanlah merupakan menu sajian yang siap pakai, dia adalah bagian dari sistem yang membutuhkan proses pemikiran yang luas, ketrampilan yang mendukung serta parksis yang meyakinkan. Paradigma seputar perkembangan jaman bukanlah hanya sebatas wacana. Dia adalah bagian dari konsepsi hasil pemikiran futuristis, yang mana akan selalu inovatif berkembang dengan konsepsi-konsepsi yang baru pula.

Dalam mensikapi hal tersebut di atas, manusia tidak hanya butuh sebatas rekonstruksi, akan tetapi lebih dari itu. Revitaslisasi pemikiran tentang dampak liberalisme dalam hal ini sangat diperlukan. Untuk itu, idealisme yang kuat serta pemikiran yang luas dari berbagai disiplin ilmu harus benar-benar dipersiapkan dari awal. Dan semua itu hanya bisa di dapat dari sistem pendidikan yang jelas, akurat dan terpadu.

Dari uraian di atas, nampak jelas sekali bahwa dalam rangka menghadapi era liberalisasi dan modernisasi yang semakin kompleks, sangat diperlukan para konseptor pintar dan tenaga ahli yang siap pakai. Mereka dengan sendirinya akan ditempatkan pada bidang kerja (job description)secara porporsional sesuai dengan basic intelectual masing-masing.

Sementara itu mereka yang merasa tingkat pendidikannya rendah, secara otomatis akan tergeser dan lebih bersifat non-fungsional. Mereka akan merasa terbatasi daya jangkau serta kreatifitasnya. Mereka akan lemah, apatis dan menjadi korban liberalisme. Pengekangan wawasan terhadap kinerja yang kompetitif, telah menempatkannya ke dalam kelompok minoritas. Ironisnya, jika hal ini terus dibiarkan berkembang di negara ini, maka yang akan muncul ke permukaan adalah terciptanya komunitas pengangguran dengan skala besar. Sehingga dalam proses kelanjutannya, akan tercipta eksodusisme tenaga kerja ke luar negeri secara kontinu. Dan kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan muncul semacam intervensi sosial, moral hingga kebudayaan.

Selain itu pengangguran sangat identik dengan kemiskinan. Sedangkan kemiskinan itu sendiri salah satu problem pemerintah yang sampai saat ini belum mendapat penyelesaian secara matang. Oleh karenanya tingkat pendidikan yang rendah dalam masyarakat sangat berpotensi untuk menumbuhkan gejala pengangguran dalam sekala besar dan bertahap.

2.Rendahnya Tingkat Kesadaran Masyarakat Akan Hukum dan Peraturan

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat akan sangat berpengaruh kepada tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum dan peraturan pemerintah. Karena di sini pola pikir masyarakat akan terbatasi oleh kebutuhan harian yang lebih mendesak. Konsep menghalalkan segala cara akan menjadi doktrin baru yang lebih dominan. Dengan tanpa memperdulikan hukum dan peraturan yang diterapkan, mereka akan tetap berusaha untuk mendapatkan segala bentuk kebutuhan pribadi, tanpa melihat dan memahami akan pentingnya sebuah hukum dan peraturan. Bagi mereka hukum dan peraturan adalah milik negara, sedang pemenuhan kebutuhan hidup adalah urusan mereka.

Di sini nampak ada semacam kesenjangan pola pikir yang lebih relevan antara kesadaran masyarakat yang relatif rendah dengan eksistensi tatanan birokrasi pemerintahan yang - mungkin - cenderung mendikte. Benturan terhadap otorisasi liberalisme dan modernisme sama sekali tidak memberikan ruang gerak kepada masyarakat yang berpola pikir rendah untuk mengembangkan eksistensi mereka. Atas dasar fenomena inilah maka pemerintah tidak akan bisa berbuat banyak dalam rangka proses pengentasan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih persuasif. Dalam hal ini pemerintah adalah pemerintah yang bernaung di bawah komunitas otoritarisme, sedangkan masyarakat kecil akan tetap di proporsikan sebagai kelompok minoritas yang cenderung marginal, primordial, bodoh dan sempit fikir. Hubungan masyarakat dengan pemerintah bukanlah merupakan mata rantai yang saling menaungi, melindungi dan menguntungkan. Tidak ada transformasi tata nilai maupun benang penghubung yang harmonis di antara keduanya.

Berpijak dari itulah, maka masyarakat sendiri akan selalu beranggapan bahwa pemerintah hanya bisa memberi hukum, sanksi dan peraturan. Sedangkan masalah pengangkatan taraf hidup mereka yang lebih layak, sama sekali tidak masuk dalam program kerja pemerintah. Itu lah yang mendasari kenapa masyarakat relatif kurang sadar terhadap tata nilai, hukum dan peraturan. Padahal kalau kita kaji secara mendalam faktor rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, dirasakan tidak mampu membackup mobilisasi perkembangan jaman. Sedangkan pemerintah sendiri tidak akan mampu memberikan jaminan akan kehidupan yang layak tanpa adanya dorongan internal dari masayarakat itu sendiri.

3. Kurangnya Kesadaran Multikulturalisme

Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi integrating force dalam rangka mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.

Sedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok. Konteks global setelah tragedi 1998 dan munculnya krisis moneter serta hiruk pikuk politis identitas di dalam era reformasi menambah kompleknya persoalan keragaman dan antar kelompok di Indonesia.

Dalam berbagai kajian kita selalu melegitimasi factor ekonomi sebagai sebab timbulnya pertikaian antar etnis tersebut. Padahal kalau dicermati secara mendasar, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat adalah factor yang paling bertanggung jawab terhadap pertikaian tadi. Rendahnya pendidkan dirasakan kurang mampu memberi solusi praksis terhadap pluralisasi peradaban serta kemajemukan multikultural. Masyarakat akan senantiasa mengklaim egoisme dan arogansi pribadi dari pada kepentingan golongan.

Dalam tataran ini masyarakat akan cenderung primordialis. Di mana perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama. Selain itu mereka sering kali menjadikan suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, yang tentunya sangat bersifat kompetitif. Bahkan ada kecenderungan ke arah rivalisasi etnis.

Melihat fenomena di atas, mungkin ceritanya akan menjadi lain ketika tingkat pendidikan masyarakat cukup memadahi. Yang tentunya akan membawa mereka juga ke arah pola kesadaran yang lebih tinggi. Akan ada semacam kesadaran etnisitas yang secara otomatis akan tertanam dalam jiwa mereka. Di sini setiap orang akan senantiasa mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit, sehingga secara praksis benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Masyarakat akan dengan sendirinya mengakui adanya keragaman suku dan ras.

Hal ini sesuai dengan konsep pendidikan multikultural yang diterapkan oleh R. Stavenhagen, di mana mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dalam tulisannya; “Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people... had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system.”

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa panda dasarnya Pendidikan multikultural adalah suatu penedekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan.

0 komentar:

Posting Komentar